Allah berfirman dalam surat Al-Anfâl ayat 46:
وَاصْبِرُوْا اِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ (الأنفال: ٤٦)
Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kepada selain mereka. Allah berfirman:
وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْا اَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ (البقرة: ۱٥۷)
“Dan
sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
Menurut
Imâm al-Ghazâlî sabar adalah keteguhan yang mendorong hidup beragama
dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu adalah salah satu
karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur malaikat dan unsur
binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi,
sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka
semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat
ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka
bertasbih menyucikan Allah Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti.
Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara
pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan
manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling
menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah
dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya.
Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh
instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal.
Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan
dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat
dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya,
maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah
terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong
tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang
didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh
dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa
nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang
akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar
dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.
a) Tingkatan
tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak
memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan
kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus-menerus.
b) Tingakatan
pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan
peperangan. Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. Adakalanya
dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu
meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan
hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu
mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan
akhirnya kalah.
c) Tingkatan
terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya
dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia
menjadi tawanannya hawa nafsu.
Kebutuhan
akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam segala hal. Karena segala
peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas
dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua,
bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu
menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan,
kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat
membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la
akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa
nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya.
Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."
Menurut
Imâm al-Ghazâlî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung
kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya.
Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:
a. Sabar dalam taat.
Nafsu
sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat,
sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan,
dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan
yang sangat berat dan sulit.
Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua,
ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan
kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan
sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la
hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan
amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang
lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.
b. Sabar terhadap maksiat.
Bersikap
sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap
maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul
untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua
lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan.
Bila
keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan
tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya,
mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga
diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.
c. Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.
Seperti
gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar
terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut
kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.
Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain."
Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang
dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya.
Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi
mohon dikoreksi ayat dan suratya...
BalasHapussalah semua...