LAISA KAMITSLIHI SYAIUN
Judul di atas adalah cuplikan dari ayat Alquran yang ma`nanya, Allah
tidak sama dengan sesuatupun. Karena yang namanya sesuatu itu adalah
makhluk, sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Pencipta semua makhluk. maka
sangat mustahil jika Sang Pencipta ini sama dengan apa yang diciptakan.
Ilustrasi paling mudah untuk dipahami kalangan awam. Jika ada tukang kayu pembuat kursi, tentu kursi hasil produksinya tidak sama dengan si tukang kayu itu sendiri, baik dari segi bentuknya, warnanya, rasanya (jika ada), serta segala sifat yang melekat pada kursi maupun pada si tukang, keduanya pasti berbeda.
Dalam aqidah Ahlus sunnah wal jama`ah diterangkan, salah satu perbedaan antara Allah dan seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah bahwa Allah itu adalah Dzat yang tidak membutuhkan makhluk dan sifat-sifat makhluk. Allah tidak butuh tempat, karena tempat itu sendiri adalah makhluk ciptaan Allah.
Allah juga tidak membutuhkan waktu, Allah tidak membutuhkan arah, dan Allah juga tidak memiliki bentuk jisim/tubuh seperti layaknya sifat makhluk.
Allah tidak berbentuk kotak seperti almari, Allah tidak berbentuk bulat seperti bumi. Allah tidak berbentuk tinggi seperti tiang listrik. Allah juga tidak pendek seperti pohon jamur, dan Allah tidak memiliki bentuk benda padat lainnya karena Allah bukanlah makhluk seperti benda-benda yang tersebut di atas.
Allah juga tidak memiliki perut seperti perut manusia. Allah tidak memiliki tangan, kaki, mata, kepala, telinga, rambut, dan anggota tubuh lainnya seperti anggota tubuh manusia. Karena Allah tidak sama dengan manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Demikian inilah ma`na yang terkandung dalam ayat laisa kamitslihi syaiun yang diyakini oleh penganut Ahlus sunnah wal jama`ah.
Berbeda dengan keyakinan para penganut faham Tajsiim, non Ahlus sunnah wal jamaah, yang mengatakan, bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti yang ada pada sifat manusia/makhluk.
Jika penganut Ahlus sunnah wal jama`ah menemukan ayat di dalam Alquran yang menyebut lafadz YADULLAH, yang secara arti dalam kamus bahasa adalah tangan Allah, maka Ahlus sunnah wal jamaah harus menta`wili dengan arti: kekuasaan/rahmat Allah. Sedangkan keyakinan penganut tajsiim mengatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan seperti yang ada pada tubuh manusia dengan jari dan pergelangannya.
Aqidah Tajsim ini pada hakikatnya berasal dari keyakinan kaum Yahudi, mereka menyakini bahwa Allah itu berada di suatu tempat, layaknya makhluq yang membutuhkan waktu dan ruang. Kaum Yahudi mengatakan dalam bagian lembar luar kitab
> Al-ishah, 46 no 3-4 : Aku (Allah) turun bersamamu (Musa) ke Mesir.
> Al-ishah, 19 no 11 : Karena pada hari ke tiga, Allah turun ke gunung Saina dan terlihat oleh semua mata seluruh penduduk (Mesir).
> Al-ishah, 19 no 20 : Dan Allah turun ke gunung Saina sampai di pucuk gunung.
Jadi jelas, keyakinan tajsiim yang banyak beredar di kalangan kaum Wahhabi pada umumnya adalah Bid`ah Dhalalah (sesat) dalam aqidah, karena Nabi SAW dan para shahabat tidak meyakini aqidah seperti ini.
Bahkan ke empat imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal bersepekat menyikapi aqidah Tajsim: Barang siapa yang menisbatkan anggota tubuh atau menisbatkan keberadaan arah/tempat kepada Dzat Allah, seperti layaknya yang dinisbatkan kepada makhluk, maka orang tersebut telah kufur. (Kitab Minhajul Qawim hal 224, karangan Syeikh Ibnu Hajar Alhaitami).
Ilustrasi paling mudah untuk dipahami kalangan awam. Jika ada tukang kayu pembuat kursi, tentu kursi hasil produksinya tidak sama dengan si tukang kayu itu sendiri, baik dari segi bentuknya, warnanya, rasanya (jika ada), serta segala sifat yang melekat pada kursi maupun pada si tukang, keduanya pasti berbeda.
Dalam aqidah Ahlus sunnah wal jama`ah diterangkan, salah satu perbedaan antara Allah dan seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah bahwa Allah itu adalah Dzat yang tidak membutuhkan makhluk dan sifat-sifat makhluk. Allah tidak butuh tempat, karena tempat itu sendiri adalah makhluk ciptaan Allah.
Allah juga tidak membutuhkan waktu, Allah tidak membutuhkan arah, dan Allah juga tidak memiliki bentuk jisim/tubuh seperti layaknya sifat makhluk.
Allah tidak berbentuk kotak seperti almari, Allah tidak berbentuk bulat seperti bumi. Allah tidak berbentuk tinggi seperti tiang listrik. Allah juga tidak pendek seperti pohon jamur, dan Allah tidak memiliki bentuk benda padat lainnya karena Allah bukanlah makhluk seperti benda-benda yang tersebut di atas.
Allah juga tidak memiliki perut seperti perut manusia. Allah tidak memiliki tangan, kaki, mata, kepala, telinga, rambut, dan anggota tubuh lainnya seperti anggota tubuh manusia. Karena Allah tidak sama dengan manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Demikian inilah ma`na yang terkandung dalam ayat laisa kamitslihi syaiun yang diyakini oleh penganut Ahlus sunnah wal jama`ah.
Berbeda dengan keyakinan para penganut faham Tajsiim, non Ahlus sunnah wal jamaah, yang mengatakan, bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti yang ada pada sifat manusia/makhluk.
Jika penganut Ahlus sunnah wal jama`ah menemukan ayat di dalam Alquran yang menyebut lafadz YADULLAH, yang secara arti dalam kamus bahasa adalah tangan Allah, maka Ahlus sunnah wal jamaah harus menta`wili dengan arti: kekuasaan/rahmat Allah. Sedangkan keyakinan penganut tajsiim mengatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan seperti yang ada pada tubuh manusia dengan jari dan pergelangannya.
Aqidah Tajsim ini pada hakikatnya berasal dari keyakinan kaum Yahudi, mereka menyakini bahwa Allah itu berada di suatu tempat, layaknya makhluq yang membutuhkan waktu dan ruang. Kaum Yahudi mengatakan dalam bagian lembar luar kitab
> Al-ishah, 46 no 3-4 : Aku (Allah) turun bersamamu (Musa) ke Mesir.
> Al-ishah, 19 no 11 : Karena pada hari ke tiga, Allah turun ke gunung Saina dan terlihat oleh semua mata seluruh penduduk (Mesir).
> Al-ishah, 19 no 20 : Dan Allah turun ke gunung Saina sampai di pucuk gunung.
Jadi jelas, keyakinan tajsiim yang banyak beredar di kalangan kaum Wahhabi pada umumnya adalah Bid`ah Dhalalah (sesat) dalam aqidah, karena Nabi SAW dan para shahabat tidak meyakini aqidah seperti ini.
Bahkan ke empat imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal bersepekat menyikapi aqidah Tajsim: Barang siapa yang menisbatkan anggota tubuh atau menisbatkan keberadaan arah/tempat kepada Dzat Allah, seperti layaknya yang dinisbatkan kepada makhluk, maka orang tersebut telah kufur. (Kitab Minhajul Qawim hal 224, karangan Syeikh Ibnu Hajar Alhaitami).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar