Raden Patah
Adipati Raden Patah alias Jin Bun bergelar Senapati Jimbun[1] atau
Panembahan Jimbun[2](lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah
pendiri dan raja Demak pertama dan memerintah tahun 1500-1518. Menurut
kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa
yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang
berdarah Cina. Jin Bun artinya orang kuat.[3] Nama tersebut identik
dengan nama Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa
pemerintahannya Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di
sana.
Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan
Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang
Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs
memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma
Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih Rodim)", mungkin
maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504).
Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518
dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh Raden Patah berbenturan dengan tokoh Trenggana,
raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun
1521-1546.
Asal-usul Raden Patah
Terdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kerajan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja
terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Selir Cina
ini puteri dari Kyai Batong (Ma Hong Fu). Karena Ratu Dwarawati sang
permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa
memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati
Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya
Damar, melahirkan Raden Kusen.
Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu
Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre
Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari
selir Cina. Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang berdarah
setengah Cina bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong merupakan
putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa atau Brawijaya III) dari
seorang selir Cina. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina
ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden
Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun
1474-1478). Menurut Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor
dalam mengidentifikasi Brawijaya sebagai ayah Raden Patah sekaligus ayah
Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik Cina Sam Po Kong
terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar)
adalah Kung-ta-bu-mi alias Brawijaya III, berbeda dengan ayah Jin Bun
(alias Raden Patah) yaitu Yang-wi-si-sa alias Brawijaya V.[3]
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu
Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat
merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan
perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu Cu mengabdi ke Majapahit
dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita
ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama
lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas
jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati
Demak bergelar Arya Sumangsang.
Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri
Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Pendirian Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya
Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden
Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di
Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden
Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah
pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias
Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat
memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati
Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya
(diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau
mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai
bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu
kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun
1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak.
Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit
resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel),
Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan
kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan China untuk Bintoro).
Konflik Demak dan Majapahit pada Masa Raden Fatah
Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah
babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan,
Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena
meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun
sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit.
Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama
lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Versi Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya
perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi
setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur
ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan
dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan
Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai
bupati.
Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis”
dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah
Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah
Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas
Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan
Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan
mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII. Perang antar Demak dan
Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada
masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V. [4]
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum
pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru
bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana
alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan
mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang
berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan
pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak,
melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Pemerintahan
Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia
diceritakan sebagai raja pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia
bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang
Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar
Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya
Alam.
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang
Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau
Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat
pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab
undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah
sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali
menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho
yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha
sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat
memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi
persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena
sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan
kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di
Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate
Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru
diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus
bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang
diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512.
Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat
Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis
ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam
pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia
tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja
selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.
Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang
istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama,
melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara
berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan
Trenggana.
Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden
Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana
berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden
Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun
1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta.
Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang
bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena
itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya
bunga yang gugur di sungai.
Kronik Cina hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu
Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran
Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki
putera yang juga bernama Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus.
Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya
dari pada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai
kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar