Akhlak
dalam kehidupan menempati tempat yang utama, yaitu sebagai sarana
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun di era yang serba canggih
ini akhlak manusia sedikit banyak telah bergeser dari tempat yang
semestinya, yaitu akhlak yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis. Dan
untuk mengembalikannya dibutuhkan upaya perbaikan, baik melalui media
pendidikan atau pun media yang lain. Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn
memberikan solusi pemecahan dengan konsep perbaikan akhlaknya. Menurut
beliau akhlak yang baik itu dapat dicapai dengan cara menghilangkan
semua kebiasaan buruk yang telah diterangkan dengan jelas satu-persatu
oleh syariat. Menjauhkan diri dari padanya dengan membencinya
sebagaimana seseorang itu menjauhkan dirinya dari pada segala macam
benda yang kotor di samping dia berusaha dengan bersungguh-sungguh
membiasakan kebiasaan yang baik sehingga memberi kesan kepada jiwanya
dan kemudian barulah dia merasakan nikmat dan kesenangan dari pada hasil
usahanya itu.[27]
Seterusnya
Imâm al-Ghazâlî menjelaskan bahwa jiwa seseorang telah terbiasa
merasakan hal-hal yang enak dan yang jahat saja maka sudah pasti jiwa
itu tidak akan dapat menerima yang baik dan benar dan ia tidak dapat
dikembalikan kepada keadaan yang lebih berat seperti beramal dan
bersungguh. Jiwa yang tercela itu akan dimilikinya secara terus-menerus
sekali pun bertentangan dengan tabiat baik manusia. Kegemaran kepada
hikmah, cinta kepada Allah serta beribadat kepada-Nya adalah kegemaran
seperti kegemaran kepada makanan dan minuman yang berkhasiat kepada
manusia sekali pun bertentangan dan menyimpang daripada kebiasaan liar
seseorang manusia dan juga bertentangan dengan hawa nafsu yang telah
menjadi kebiasaannya. Imâm al-Ghazâlî mengakui bahwa ada manusia yang
dilahirkan telah mempunyai budi pekerti yang baik sebagai fitrahnya di
mana tidak memerlukan kepada pendidikan dan pengajaran seperti Nabi Isa,
Yahya dan para nabi yang lain dan dia merupakan keistimewaan. Sedangkan
manusia yang lain hanya mencapai budi pekerti yang baik jika dia
berusaha ke arah itu di mana hanya sedikit anak-anak yang dilahirkan
dalam keadaan mereka itu benar, fasih berbicara, pemurah dan berani.
Imâm
al-Ghazâlî berpendirian bahwa mengubah akhlak manusia itu sangat
mungkin boleh berlaku dalam pelaksanaannya sehingga budi pekerti yang
baik seseorang itu dapat ditumbuhkan dengan menghilangkan sifat kejinya.
Sebagai alasan, beliau mengemukakan hadis yang bermaksud : "
Perbaikilah akhlakmu" dan menambah hujahnya bahwa jika akhlak itu tidak
dapat dirubah sudah tentu nabi Muhamamd Saw. tidak memerintahkan
sebagaimana hadis tersebut. Seterusnya tidak ada gunanya lagi usaha
nasihat menasihati sebagaimana tiada faedah adanya hadis yang memberi
pengajaran, janji kesenangan untuk mereka yang berbuat baik dan ancaman
keras bagi mereka yang berbuat jahat seperti manusia yang mampu mengubah
tingkah laku binatang liar menjadi binatang jinak .
Konsep
perbaikan akhlak itu adalah dengan membersihkan dan mensucikan kalbu
dari segala hal yang tidak disukai oleh Allah Swt.dan merias diri dengan
segala hal yang yang dicintai oleh Allah. Dengan jalan mujâhadah dan riyâdhah melaui fase-fase sebagai berikut :
Fase pertama:
membersihkan atau menjernihkan hati dari akhlak tercela yang mencakup
sepuluh sifat tercela yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan,
yang meliputi; nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah,
kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia,
takabur, takjub diri dan riya’.
Fase kedua:
merias atau mengisi hati dengan akhlak mulia yang mencakup sepuluh
sifat mulia yang satu dengan yang lain juga saling berkaitan, yang
meliputi; taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur,
tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’ dan mengingat mati dan hakikat
mati serta ragam siksa ruhani.
Imâm
al-Ghazâlî berpendapat walaupun akhlak tercela manusia itu banyak
jenisnya sebagaimana yang telah beliau uraikan dengan panjang lebar
dalam kitab Al-Ihyâ’ . Namun, menurutnya
sumber dari akhlak-tercela tercela itu timbul dari sepuluh sifat
tercela di atas dan satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Sehingga
tidak cukup menghilangkan satu, dua atau tiga sifat saja. Melainkan
harus secara bersamaan. Dengan menghilangkannya berarti menghilangkan
induk dari sifat-sifat tercela termasuk berbicara kotor yang mempunyai
cabang sebanyak 20 sifat tercela.
Demikian
juga setelah seseorang itu bersih dari sifat-sifat tercela tadi. Maka,
Dia harus segera memasukkan akhlak-akhlak yang mulia. Sebagai hiasan dan
wujud bahwa akhlaknya telah bersih dari akhlak yang tercela. Imâm
al-Ghazâlî memberikan juga sepuluh sifat mulia yang menjadi dasar bagi
penanaman sifat-sifat mulia yang lainnya. Dengan memiliki akhlak yang
mulia, yaitu akhlak yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, maka
manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar