Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menygka bahwa istighfar
dan taubat hanyalah cukup dgn lisan semata. Sebagian mereka
mengucapkan. “Arti : Aku mohon ampun kpd Allah dan bertaubat kpd-Nya”.
Tetapi kalimat-kalimat diatas tdk membekas di dalam hati, juga tdk
berpengaruh dalam peruntukan anggota badan. Sesungguh istighfar dan
taubat jenis ini ialah peruntukan orang-orang dusta. Para ulama -semoga
Allah memberi balasan yg sebaik-baik kpd mereka- telah menjelaskan
hakikat istighfar dan taubat.
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : “Dalam istilah syara’,
taubat ialah meninggalkan dosa krn keburukannya, menyesali dosa yg telah
dilakukan, berkeinginan kuat untuk tdk mengulangi dan berusaha
melakukan apa yg bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah
terpenuhi berarti syarat taubat telah sempurna” [Al-Mufradat fi Gharibil
Qur’an, dari asal kata ” tauba” hal. 76]. Imam An-Nawawi
dgn redaksional sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat
dari setiap dosa hukum ialah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba
dgn Allah, yg tdk ada sangkut paut dgn hak manusia maka syarat ada
tiga. Pertama, hendak ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia hrs
menyesali peruntukan (maksiat)nya. Ketiga, ia hrs berkeinginan untuk tdk
mengulangi lagi. Jika salah satu hilang, maka taubat tdk sah.
Jika taubat itu berkaitan dgn hak manusia maka syarat ada empat.
Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendak ia membebaskan diri (memenuhi)
hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenis maka ia hrs
mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenis maka
ia hrs memberi kesempatan untuk membalas atau meminta ma’af kpdnya. Jika
berupa ghibah (menggunjing), maka ia hrs meminta maaf” [Riyadhus
Shalihin, hal. 41-42] Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam
Ar-Raghib Al-Asfahani ialah ” Meminta (ampunan) dgn ucapan dan
peruntukan. Dan firman Allah.
“Arti : Mohonlah ampun kpd Tuhanmu, sesungguh Dia Maha Pengampun” [Nuh : 10]
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun ha dgn
lisan semata, tetapi dgn lisan dan peruntukan. Bahkan hingga dikatakan,
memohon ampun (istighfar) ha dgn lisan saja tanpa disertai peruntukan
ialah pekerjaan para pendusta” [Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari
asal kata “ghafara” hal. 362]
Dalil Syar’i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa
istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dgn karunia Allah
Ta’ala. Dibawah ini beberapa nash dimaksud :
Apa Yang Disebutkan Allah Subhana Wa Ta’ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang Berkata Kepada Kaumnya.
“Arti : Maka aku katakan kpd mereka, ‘Mohonlah ampun kpd Tuhanmu’,
sesunguh Dia ialah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kpdmu dgn lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai”. [Nuh : 10-12]
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendptkan hal-hal berikut ini dgn istighfar.
Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : “Sesungghuh Dia ialah Maha Pengampun”.
Dditurunkan hujan yg lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhuma berkata “midraaraa” ialah (hujan) yg turun dgn deras. [Shahihul
Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666]
Allah akan membanyakan harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat
“wayumdid kum biamwalin wabanina” Atha’ berkata : Niscaya Allah akan
membanyakkan harta dan anak-anak kalian” [Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat
pula, Tafsirul Khazin, 7/154]. Imam Al-Qurthubi berkata : “Dalam ayat
ini, juga yg disebutkan dalam (surat Hud : 3 “Arti : Dan hendaklah kamu
meminta ampun kpd Tuhamnu dan bertaubat kpd-Nya) ialah dalil yg
menunjukkan bahwa istighfar mrpk salah satu sarana meminta diturunkan
rizki dan hujan”. [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis
Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417]
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsir berkata :” Maknanya, jika kalian
bertaubat kpd Allah, meminta ampun kpdNya dan kalian senantiasa
menta’atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air
hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah
dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air
susu perahan untuk kalian, membanyakan harta dan anak-anak untuk kalian,
menjadikan kebun-kebun yg di dalam bermacam-macam buah-buahan untuk
kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk
kalian)”. [Tafsir Ibnu Katsir, 4/449]
Demikianlah, dan Amirul Mukminin
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu juga berpegang dgn apa yg
terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah
Ta’ala.
Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya’bi : “Bahwasa Umar Radhiyallahu
‘anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tdk
lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kpd Allah) lalu beliau
pulang. Maka seseorang berta kpdnya, ‘Aku tdk mendengar Anda memohon
hujan’. Maka ia menjawab, ‘Aku memohon diturunkan hujan dgn majadih[1]
langit yg dgn diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat.
“Arti : Mohonlah ampun kpd Tuhamu, sesungguh Dia ialah Maha Pengampun,
niscaya Dia akan mengirimkan hujan kpdmu dgn lebat”.[Nuh : 10-11].
[Tafsir Al-Khazin, 7/154]
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah oleh
Dr. Fadhl Ilahi, dgn edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur’an
dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris
Arifin, Lc]
Majadih bentuk tunggal ialah majdah yakni salah satu jenis
bintang yg menurut bangsa Arab mrpk bintang (yg jika muncul) menunjukkan
hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan istighfar
sama dgn bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa
yg mereka ketahui. Dan sebelum mereka memang menganggap bahwa ada
bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar
berpendpt bahwa turun hujan krn bintang-bintang tersebut. [Tafsir
Al-Khazin, 7/154]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar