Rabu, 27 Maret 2013

Laahaula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim

oleh: K Ng H Agus Sunyoto
       Setelah khalwat  selama enam  hari di ruang samping mushola, pada malam hari ketujuh Obeth keluar menemui Guru  Sufi yang sedang duduk di teras mushola ditemani Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sukiran. Dengan suara bergetar Obeth  mengucap salam dan berkata kepada  Guru Sufi,"Saya sudah menemukan Kebenaran dari semua yang sudah pernah  Mbah Kyai sampaikan. Saya sadar, selama ini pikiran dan jiwa saya sangat dihegemoni oleh dogma, doktrin dan mitos masyarakat awam  yang diyakini banyak orang sebagai suatu kebenaran  umum."
    Guru Sufi tersenyum dan berkata,"Apa itu tentang Kebenaran faktual di balik kalimat Laahaula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim?"
    "Benar sekali, Mbah Kyai," sahut Obeth dengan nafas naik turun.
    "Apa yang telah sampeyan alami selama khalwat sampai sampeyan menyadari Kebenaran kalimah Laa haula walaa quwwata ilabillahil aliyyil adhiim yang bermakna "tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung?" tanya Guru Sufi.
    "Ee sewaktu saya tenggelam dalam kekhusyukan  tanaffus dan tadzakkur," ungkap Obeth menjelaskan,"Saya tiba-tiba merasakan bagaimana jantung saya berdetak, saya juga merasakan bagaimana keluar dan masuknya nafas serta getaran dari aliran darah saya. Saya merasakan itu semua Mbah Kyai."
    "Setelah itu?" tanya Guru Sufi dengan suara ditekan.
    "Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu di kedalaman jiwa saya yang mengungkapkan fakta tentang bagaimana  detak jantung saya  ternyata berdetak sendiri tanpa bisa saya kendalikan. Saya terkejut dan sadar akan kenyataan faktual itu. Tetapi sesuatu di kedalaman jiwa saya itu mengungkapkan  kenyataan faktual tentang  keluar dan masuknya nafas saya yang  ternyata tidak bisa saya kendalikan," kata Obeth bergetar.
    "Setelah itu?"
    "Sesuatu di kedalaman jiwa saya itu terus mengungkap kenyataan-kenyataan faktual yang tak tersanggah bahwa kita itu sejatinya tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun, bahkan sekedar daya dan kekuatan untuk mengatur segala sesuatu yang melekat pada diri kita," kata Obeth menenangkan diri.
    "Setelah sadar bahwa sampeyan tidak bisa mengatur detak jantung dan tidak pula bisa mengatur keluar dan masuknya nnafas, apalagi kesadaran yang sampeyan capai?" tanya Guru Sufi.
    "Sesuatu di kedalaman jiwa saya mengungkapkan bagaimana saya tidak punya daya dan kekuatan untuk  mengatur tumbuhnya rambut di kepala saya, tumbuhnya kumis dan janggut saya, tumbuhnya alis mata saya. Saya juga sadar bahwa saya ternyata tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur tumbuhnya kuku di jari tangan dan kaki saya. Saya sadar bahwa saya tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur sirkulasi darah dan unsur-unsur kimiawi di tubuh saya. Semua yang ada di dalam tubuh fisik saya bergerak dan berjalan sendiri di luar kontrol dan kendali saya," kata Obeth menjelaskan.
    "Padahal selama ini bagaimana pandangan sampeyan?"
    "Seperti umumnya orang-orang yang pikirannya terhegemoni pandangan awam yang naif bahwa diriku adalah milikku yang kugerakkan sesuai keinginan dan kehendakku," kata Obeth tegas,"Dan itu ternyata keliru dalam memaknai Kebenaran faktual."
    "Berarti selama ini samnpeyan ikut pandangan "Aku" yang diagungkan Chairil Anwar ya?"
    "Tepat sekali Mbah Kyai," sahut Obeth,"Selama ini saya meyakini kebenaran "Aku"-nya Chairil Anwar yang berkhayal seolah memiliki daya dan kekuatan untuk menentukan jalan hidup sendiri sebagai manusia eksistensialis. Dan ternyata, pandangan dan keyakinan saya itu tidak benar secara faktual."
    "Jadi yang Benar secara faktual sekarang ini menurut apa?" tanya Guru Sufi
    "Laa haula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim."
    Para sufi bertepuk tangan dan satu demi satu saling menyalami Obeth yang dinilai telah memperoleh kenaikan maqam ruhani karena telah berhasil mencapai kesadaran yang berbeda dengan kesadaran seumumnya masyarakat. Namun untuk maqam itu, Obeth belum diberi gelar khusus sebagai sufi meski Dullah sudah mengusulkan gelar "Sufi Koming" untuknya.

Allah SWT berbeda dengan mahluknya

LAISA KAMITSLIHI SYAIUN

Judul di atas adalah cuplikan dari ayat Alquran yang ma`nanya, Allah tidak sama dengan sesuatupun. Karena yang namanya sesuatu itu adalah makhluk, sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Pencipta semua makhluk. maka sangat mustahil jika Sang Pencipta ini sama dengan apa yang diciptakan.

Ilustrasi paling mudah untuk dipahami kalangan awam. Jika ada tukang kayu pembuat kursi, tentu kursi hasil produksinya tidak sama dengan si tukang kayu itu sendiri, baik dari segi bentuknya, warnanya, rasanya (jika ada), serta segala sifat yang melekat pada kursi maupun pada si tukang, keduanya pasti berbeda.

Dalam aqidah Ahlus sunnah wal jama`ah diterangkan, salah satu perbedaan antara Allah dan seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah bahwa Allah itu adalah Dzat yang tidak membutuhkan makhluk dan sifat-sifat makhluk. Allah tidak butuh tempat, karena tempat itu sendiri adalah makhluk ciptaan Allah.

Allah juga tidak membutuhkan waktu, Allah tidak membutuhkan arah, dan Allah juga tidak memiliki bentuk jisim/tubuh seperti layaknya sifat makhluk.

Allah tidak berbentuk kotak seperti almari, Allah tidak berbentuk bulat seperti bumi. Allah tidak berbentuk tinggi seperti tiang listrik. Allah juga tidak pendek seperti pohon jamur, dan Allah tidak memiliki bentuk benda padat lainnya karena Allah bukanlah makhluk seperti benda-benda yang tersebut di atas.

Allah juga tidak memiliki perut seperti perut manusia. Allah tidak memiliki tangan, kaki, mata, kepala, telinga, rambut, dan anggota tubuh lainnya seperti anggota tubuh manusia. Karena Allah tidak sama dengan manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Demikian inilah ma`na yang terkandung dalam ayat laisa kamitslihi syaiun yang diyakini oleh penganut Ahlus sunnah wal jama`ah.

Berbeda dengan keyakinan para penganut faham Tajsiim, non Ahlus sunnah wal jamaah, yang mengatakan, bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti yang ada pada sifat manusia/makhluk.

Jika penganut Ahlus sunnah wal jama`ah menemukan ayat di dalam Alquran yang menyebut lafadz YADULLAH, yang secara arti dalam kamus bahasa adalah tangan Allah, maka Ahlus sunnah wal jamaah harus menta`wili dengan arti: kekuasaan/rahmat Allah. Sedangkan keyakinan penganut tajsiim mengatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan seperti yang ada pada tubuh manusia dengan jari dan pergelangannya.

Aqidah Tajsim ini pada hakikatnya berasal dari keyakinan kaum Yahudi, mereka menyakini bahwa Allah itu berada di suatu tempat, layaknya makhluq yang membutuhkan waktu dan ruang. Kaum Yahudi mengatakan dalam bagian lembar luar kitab

> Al-ishah, 46 no 3-4 : Aku (Allah) turun bersamamu (Musa) ke Mesir.

> Al-ishah, 19 no 11 : Karena pada hari ke tiga, Allah turun ke gunung Saina dan terlihat oleh semua mata seluruh penduduk (Mesir).

> Al-ishah, 19 no 20 : Dan Allah turun ke gunung Saina sampai di pucuk gunung.

Jadi jelas, keyakinan tajsiim yang banyak beredar di kalangan kaum Wahhabi pada umumnya adalah Bid`ah Dhalalah (sesat) dalam aqidah, karena Nabi SAW dan para shahabat tidak meyakini aqidah seperti ini.

Bahkan ke empat imam madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal bersepekat menyikapi aqidah Tajsim: Barang siapa yang menisbatkan anggota tubuh atau menisbatkan keberadaan arah/tempat kepada Dzat Allah, seperti layaknya yang dinisbatkan kepada makhluk, maka orang tersebut telah kufur. (Kitab Minhajul Qawim hal 224, karangan Syeikh Ibnu Hajar Alhaitami).

Peran Nahdlatul Ulama Dalam Dinamika Sejarah Indonesia

1. NU PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Pada awal pereode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan dikalangan umat Islam untuk melawan colonial belanda. Untuk mempersatukan umat islam, KH. Hasyim As’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan menhajukan prilaku moderat. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi, Majlis Islam A’la Indonesia(MIAI) yang dibentuk pada tahun 1937.

Perjuangan NU diarahkan pada dua sasaran, yaitu : Pertama, NU mengarahkan perjuanganya pada upaya memperkuat aqidah dan amal ibadah ala ASWAJA disertai pengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah social, pendidikan, dan ekonomi. Kedua; Perjuangan NU diarahkan kepada kolonialisme Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat cultural untuk mencapai kemerdekaan.

Selain itu, sebagai organisasi social keagamaan NU bersikap tegas terhadap kebijakan colonial Balanda yang merugikan agama dan umat Islam. Misalnya : NU menolak berpartisipasi dalam Milisia (wajib militer), menetang undang-undang perkawinan, masuk dalam lembaga semu Volksraad, dan lain-lain.

2. NU PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Pada masa penjajahan Jepang semua organisasi pergerakan nasional dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan KH. Hastim Asy’ary (Rois Akbar) dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur pada waktu-waktu tertentu.

Mengantisipasi prilaku Jepang, NU melakukan serangkaian pembembenahan. Untuk urusan ke dalam diserahkan kepada KH. Nahrowi Thohir sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah. Program perjuangan diarahkan untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu :
Menyelamatkan aqidah Islam dari faham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
Menanggulangi krisis ekonomi sebagai akibat perang Asia Timur
Bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.

Setelah itu, Jepang menyadari kesalahanya memperlakukan umat Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuanya. Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu(Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.

3. NU PADA MASA KEMERDEKAAN

Pada tanggal 7 September 1944 Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur, sehingga pemerintah jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokoh NU (KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur).

Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar dan bentuk Negara. Begitu rumitnya pembahasan tentang dasar dan falsafah Negara makadi sepakati dibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh KH. Wahid Hasyim, hasilnya disepakati pada dasar Negara mengenai “Ketuhanan” ditambah dengan kalimat “Dengan kewajiaban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”.

Sehari setelah Indonesia merdeka, Moh Hatta memanggil empat tokoh muslim untuk menanggapi usulan keberatan masyarkat non muslim tentang dimuatnya Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH. Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul ini diterima.

Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resulusi Jihad” yang secara garis besar berisi :

Kemerdekaqan Indonesia wajib dipertahankan

Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan.
Musuh RI , terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.

Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawanya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain).
Resulusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalamperistiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.

4. NU DALAM MENGISI KEMERDEKAAN

Setelah Proklamasi kemerdekaan, hamper semua organisasi Islam sepakat menjadikan MASYUMI sebagai partai politik, termasuk NU. Namun pada tahun 1950 NU memutuska untuk keluar dari MASYUMI karena terjadi konflik intern. Pada Muktamar NU ke -19 di Palembang 1952 memutuskan menjadi Partai Politik, dengan demikian NU memasuki  dunia politik secara otonom dan terlubat langsung dalam persoalan-persoalan Negara. Untuk melapangkan jalan di dunia polotik, NU masuk dalam kabinet Ali Sastro Amijoyo, seperti KH. Zainul arifin (wakil perdana mentri), KH.Masykur (menteri Agama), begitu pula dengan susunan kabinet yang lain .Pada tahun 1955 diadakan pemilu yang pertama diIndonesia, NU mampu meraih suara terbanyak ketiga setelah PNI dan PKI. Hal ini tidak lepas dari peran Kyai dan Pesantren sebagai kekuatan pokok NU.

Pada pereode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor Serba Guna), Lesbumi (lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober 1965 NU menuntut pembubaran PKI .

SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA”

nahdlatul-ulamaSEJARAH NU Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam

Minggu, 24 Maret 2013

Umar bin Abdul Aziz Dan Lampu Negara

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk ruangan dan hendak membericarakan sesuatu.

”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar.

”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.

Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.

”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.

”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar.

Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.

"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah."

Begitulah perangai pejabat sejati. Ternyata, puncak kejayaan di berbagai bidang tak lantas membuat Umar bin Abdul Aziz terperdaya. Meski prestasinya banyak dipuji, pemimpin berjuluk ”khalifah kelima” ini tetap bersahaja, amanah, dan sangat hati-hati mengelola aset negara.

Shalat Dhuha

Shalat dhuha adalah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu dhuha. Yaitu waktu ketika matahari terbit hingga terasa panas menjelang shalat Dzuhur. Mungkin dapat diperkirakan sekitar pukul tujuh sampai pukul sebelas. Shalat dhuha sebaiknya dilakukan setelah melewati seperempat hari. Artinya, jika satu hari (12 jam, terhitung dari pukul 5 pagi – pukul 5 sore) dibagi empat maka shalat dhuha sebaiknya dilakukan pada seperempat kedua dalam sehari, atau sekitar pukul sembilan. Sehingga setiap seperempat hari selalu ada shalat. Terhitung dari shubuh sebagai shalat pertama mengisi waktu paling dini. Kemudian shalat dhuha sebagai shalat kedua. Ketiga shalat dhuhur dan keempat shalat ashar. Jika demikian maka dalam satu hari keidupan kita tidak pernah kososng dari shalat.
Shalat dhuha memiliki beberapa fadhilah yang pertama adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw. sebagaimana beliau berwasiat kepada Abu Hurairah, ia berkata:

 عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال : " أوصاني خليلي بثلاثٍ : صيامِ ثلاثةِ أيامٍ من كل شهر ، وركعتي الضحى ، وأن أوتر قبل أن أنام " ( رواه البخاري 

Rasulullah saw, kekasihku itu berwasiat padaku tiga hal pertama puasa tiga hari setiap bulan, kedua dua rakaat dhuha (setiap hari), ketiga shalat witir sebelum tidur.

Diantara fadhilah yang lain adalah menjadikan diri bersih dari dosa yang memungkinkan terkabulnya segala do’a. Sebagaimana hadits Abu Hurairoh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " مَنْ حَافَظَ عَلَى سُبْحَةِ الضُّحَى غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ ، وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ "

Barang siapa menjaga shalat dhuha, maka Allah akan mengampunin segala dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.

Dan yang tidak kalah penting adalah fadhilah yang langsung ditegaskan oleh Allah melalui Rasulullah saw dalam hadits Qudsi:

 عن أبي الدرداء وأبي ذرِّ ( رضي الله عنهما ) عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : عن الله تبارك وتعالى أنه قال : ابن آدم ، اركع لي أربع ركعاتٍ من أول النهار أكفك آخره " ( رواه الترمذي )

Dari Abi Darda’ dan Abi Dzar dari Rasulullah saw (langsung) dari Allah Tabaraka wa Ta’ala “ruku’lah untukku empat rakaat di permulaan hari (pagi), maka Aku akan mencukupimu di sisa harimu" 

Shalat dhuha minimal dilaksanakan dua raka’at, dan yang baik adalah empat rekaat sedangkan sempunanya adalah enam raka’at, dan yang paling utama adalah ukuran maksimal yaitu delapan rakaat.Shalat dhuha sebaiknya dilakukan dua rakaat untuk satu kali salam, walaupun boleh melangsungkannya dalam empat raka’at sekaligus. Untuk dua rakaat shalat dapat dimulai dengan niat أصلى سنة الضحى ركعتين لله تعالى  Ushalli sunnatad dhuha rak’ataini lillahi ta’ala. Aku niat shalat dua dua raka’at karena Allah.

Kemudian dilanjutkan dengan bacaan al-Fatihah dan disusul kemudian surat was-Syamsi wa dhuhaha untuk raka’at pertama dan qul ya ayyuhal kafirun  untuk raka’at kedua. Demikianlah selanjutnya diulang dengan bacaan surat semampunya.Adapun bacaan do’a dalam shalat dhuha sangatlah beragam akan tetapi yang masyhur adalah

 اللَّهُمَّ إنَّ الضُّحَى ضَحَاؤُك وَالْبَهَا بَهَاؤُك وَالْجَمَالُ جَمَالُك وَالْقُوَّةُ قُوَّتُك وَالْقُدْرَةُ قُدْرَتُك وَالْعِصْمَةُ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِكَ وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ

allahumma innad dhuhaa dhuha uka, wal bahaa bahaa-uka, wal jamaala jamaa-luka, wal quwwaata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ishmata ishmatuka. allahumma inkaana rizqi fis-samaa-i fa-anzilhu, wainkaana fil-ardli fa akhrijhu, wainkaana mu’siron fayassirhu, wainkaana charooman fathohhirhu, wainkaana ba’iidan faqorribhu, bichaqqi dhuhaaika, wajaamalika, wabahaaika, waqudrotika, waquwwatika, waishmatika, aatini maa’ataita ‘ibaadakash-sholichiin. 

(ya allah sesungguhnya waktu dhuha adalah dhuha-mu, dan keindahan adalah keindahan-mu, dan kebagusan adalah kebagusan-mu, dan kemampuan adalah kemampuan-mu, dan kekuatan adalah kekuatan-mu, serta perlindungan adalah perlindungan-mu. ya allah apabila rizqiku berada dilangit maka mohon turunkanlah, bila di bumi mohon keluarkanlah, bila sulit mudahkanlah, bila jauh dekatkanlah, dan bila haram bersihkanlah, dengan haq dhuha-mu, keindahan-mu, kebagusan-mu, kemampuan-mu, kekuatan-mu dan perlindungan-mu, berikanlah kepadaku apa saja yang engkau berikan kepada hamba-hambamu yang sholeh).

RAHASIA BISMILLAH

Biasanya, segala macam laku rutinitas dikerjakan tanpa pikirpanjang. Misalkan mandi, makan, minum, bersepatu, memakai baju membuka laptop, ketik sms dan lainsebagainya. Rutinitas itu seolah menutupi subtansi pekerjaan itu sendiri. Hampir-hampir orang tidak sadar untuk apa ia minum, padahal dia tidak terlalu haus. Bahkan bisa jadi seseorang minum begitu saja tanpa berpikir bagaimana jikalau tenggorokan ini mengalami kemacetan, tidak mau menelan air. Begitu pula dengan bersepatu, asalkan kaki masuk kemudian jalan. Jarang sekali orang berpikir bagaimana nasib kaki jika di dalam sepatu ada kalajengking? Begitulah segalanya terjadi berulang kali dalam kehidupan ini seperti layaknya mesin pabrikan. Belum lagi jika rutinitas itu adalah berbelanja yang telah menjadi kelatahan, sehingga begitu seringnya seseorang tidak pernah berpikir panjang untuk apa ia membeli A atau B. Asalkan ia suka, barang itu harus dibelinya. Walaupun ia telah memiliki. Demikian itu seharusnya tidaklah boleh terjadi berlarut-larut. Bagi seorang muslim yang sadar dan beriman kepada Allah swt, hendaknya hati selalu ingat kepada-Nya dalam berbagai tindak-laku keseharian. Karena hidup ini hanya bergantung kepada-Nya. Bukankah jika Dia berkehendak, bisa saja udara di dunia ini dikosongkan untuk beberapa menit saja. Bayangkan apa yang terjadi dengan nasib manusia? Untuk itulah Rasulullah saw menghimabu umatnya untuk memulai segala sesuatu dengan bacaan bismillah. Karena sesungguhynya hal itu dapat menyadarkan manusia dari tindakan rutinitasnya dan kembali berpikir dengan penuh kesadaran.
كل أمر ذي بال لا يُبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع 

Setiap perkara baik yang tidak didahului dengan bismillahirrahmanirrahim, perkara itu terpotong (percuma atau tidak dianggap ibadah)

Dari keterangan Rasulullah saw di atas, maka secara otomatis bacaan bismillah dapat menggeser posisi tindakan rutinitas menjadi sebuah laku ibadah yang penuh makna. Sebagaimana kita menjalankan berbagai syariatnya.
Bahkan tidak hanya itu saja, jiakalau kita mau mendalami beberapa hadits lain bisa jadi laku rutinitas yang telah bergeser menjadi laku ibadah karena didahului dengan bismillah berubah menjadi sumber kebajikan dan kebijakan.

مامن عبد يقول بسم الله الرحمن الرحيم إلا أمر الله تعالى الكرام الكاتبين أن يكتبوا فى ديوانه أربعمائة حسنة  

Tidaklah seorang yang membaca bismillahirrahmanirrahim kecuali Allah akan utus kepadanya seorang (malaikat pencatat) menuliskan 400 kebaikan untuknya.

Jikalau sudah demikian, maka apa yang keluar dari seorang yang membaca bismillah tidak lain hanyalah berbagai kebaikan yang sekaligus menganulir berbagai tindak keburukan. Bahkan dalam salah satu haditsnya dengan tegas Rasulullah saw berkata

مامن عبد يقول بسم الله الرحمن الرحيم إلا ذاب الشيطان كما يذوب الرصاص على النار

Tidaklah seorang hamba membaca bismillahirrahmanirrahim kecuali ia  akan mematri setan-setan seperti halnya tenol yang terpatri oleh soldir.

Itulah beberapa alasan pentingnya mengucap bismillah. Sebagaimana Rasulullah saw menggambarkan posisi bismillah dalam rentetan keistimewaan yang lain, Rasulullah saw berkata “Allah menghiasi langit dengn bintang-gemintang, menghiasi malaikat dengan jibril, menghiasi surge dengan bidadari, menghiasi para nabi dengan Muhammad saw, menghiasi hari dengan Jum’at, menghiasi malam dengan laylatul qadar, menghiasi bulan dengan Ramadhan, menghiasi masjid dengan ka’bah, menghisi mushaf dengan al-Qur’an, dan menghiasi al-qur’an dengan bismillah”.

Bacaan untuk menjaga kekhusyu'an shalat

Khusyu’, tawadhu’ dan penuh konsentrasi memang bukan termasuk rukun dan syarat syahnya shalat. Akan tetapi masuk dalam tatakrama (adab) shalat. Khusyu’ dan konsentrasi bersifat bathiniah hanya diri orang yang shalat yang mengerti. Bisa saja seorang yang terlihat anteng dalam shalat tetapi pikiran dan angan-angannya melayang hingga kemana-mana.Bila diperhatikan, biasanya khusyu’ dan konsentrasi bisa lepas begitu saja ketika dalam sholatnya seseorang hanya diam saja. Yaitu ketika banyak tersedia waktu luang. Terutama bila menjadi ma’mum dan menunggu imam menyelesaikan bacaan fatihahnya. Seperti ketika rakaa’t ke dua atau keempat ketika shalat magrib dan isya’. Atau dalam shalat-shalat sirriyah. Yaitu sholat yang tidak bersuara seperti dhuhur dan ashar. Seringkali selepas ma’mum membaca fatihah, imam belum usai dengan bacaannya. Maka hal ini mengundang berbagai pikiran dan angan-angan masuk dalam shalat, mulai dari pekerjaan hingga makanan. Oleh karena itulah ada baiknya bagi ma’mum sembari menunggu imam melakukan gerakan selanjunya berdzikir dalam hati atau membaca ayat al-Qur’an. Hal ini disunnahkan dan tidak merusak syahnya shalat bahkan dapat membantu ma’mum untuk tetap dalam jalur konsentrasi.

Begitulah keterangan yang terdapat dalam al-Fatawi  ­al-Fiqhiyyah al-Kubra.

بأن المأموم اذا فرغ من فاتحته ولم يسمع قراءة الإمام كأن بعد عنه أو سمع صوتا لايفهمه أو كان فى سرية وفى الثالثة  أوفى الرابعة من الرباعية سن له أن يقراء أو يدعووالقراءة أولى لان القيام محلها ولايسكت لأن الصلاة لاسكوت فيها الا فى مواضع ليست هذه منها...  

Ketika ma’mum selesai dengan bacaan fatihahnya dan tidak mendengarkan apapun dari imam (baik karena terlalu jauh dari imam atau karena bisingnya suara lain) seperti ketika shalat sirriyah (dhuhur dan ashar) atau ketika rekaat ketiga dan keempat, maka disunnahkan bagi ma’mum membaca ayat alqur’an (dalam hati) atau berdo’a. Tetapi membaca ayat al-Qur’an lebih utama. Dan janganlah diam saja dalam shalat karena shalat (sebagaimana dialog dengan Tuhan) harus terus dinamis. Kecuali beberapa tempat yang mengharuskan diam.

Demikianlah harus kesunnahan shalat yang berfungsi menjaga konsentrasi dalam shalat.

Sumber: NU online

Eratkan Persaudaraan Tingkatkan Nilai Kebangaan

para pembaca blog yang dirahmati Allah...
 
Kali ini saya ingin mengajak saudara seiman setaqwa dan sebangsa senegara untuk mengingat kembali sejarah berdirinya Negara tercinta Republik Indonesia. Sejatinya Indonesia bukanlah bangsa baru yang tiba-tiba ada semenjak 17 Agustus 1945. Bukan pula sebuah negara yang tiba-tiba ada begitu saja dengan nama Indonesia. Akan tetapi, negara ini merupakan negara yang dibangun di atas sejarah panjang, sejarah kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan juga Kerajaan Islam yang terbentang dari Samudra pasai, Demak hingga Mataram Islam.

Dengan demikian sudah berabad-abad Indonesia di bangun oleh nenek moyang kita. Sudah cukup panjang tinta sejarah mengukir Indonesia. Sejarah itu pula yang akhirnya menuntun para kyai, pejuang dan juga rakyat ini memilih Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kedudukan Pancasila bagi bangsa ini, khususnya umat Muslim Indonesia hanyalah sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara bukan pedoman hidup beragama. Sekali lagi bukan pedoman beragama. Akan tetapi saudara-saudara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai agama. Khusunya al-qur’an yang menjadi pedoman umat Islam.

Oleh karena itu, para hadirin jama’ah jum’ah yang dimuliakan Allah, wajar bila para kyai dan ulama ikut menyepakati dan menyetujui sebuah semboyan yang mendasari Pancasila yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang secara  lughawi berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Mengapa ini disetujui oleh ulama dan kyai? bukankah ini sama artinya membuka peluang bagi agama lain untuk berkembang di Indonesia? Bukankah sama dengan memberikan senjata bagi musuh agama kita? Tidak begitu... Allah swt sendiri telah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 93 yang bunyinya:

ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن يضل من يشاء ويهدى من يشاء ولتسئلن عما كنتم تعملون
Yang artinya:

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (agama) saja, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang Telah kamu kerjakan.

Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Syuyuthi dalam tafsir Jalalain menjabarkan bahwa arti kata Ummatan Wahidatan adalah Ahla dinin wahidin satu agama. Ini artinya bahwa perbedaan agama dan perbedaan suku-bangsa merupakan sunnah Ilahi. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, karena merupakan kehendak-Nya.

Maka dengan demikian para hadirin Jamaah Jum’ah seiman dan setaqwa, janganlah kita memandang bahwa perbedaan adalah sebuah musibah, akan tetapi pandanglah perbedaan sebagai sebuah ni’mat. Jika semua orang kaya, kepada siapa zakat kita berikan, jika semua orang pintar kepada siapa kita mengajar, jika semua orang ber-uang kepada siapa kita bersedekah? Dan jika semua orang beriman kepada siapa kita berdakwah? Mari kita renungkan bersama. Bukankah dengan demikian sebenarnya Allah memberikan peluang kepada kita untuk banyak berbuat, Beibadah, berdakwah, saling mengingatkan karena yang demikian itu banyak sekali pahala menanti. Karena itu ayat di atas diakhiri dengan sebuah pernyataan yang bernada mengingatkan;

ولتسئلن عما كنتم تعملون

Yang artinya:

Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang Telah kamu kerjakan.

Nanti Allah akan bertanya kepada kita semua, apa yang telah kita perbuat dengan perbedaan itu. Apakah kita hanya diam, atau kita telah berbuat banyak,  atau malah kita menyumpahi perbedaan itu dan menistakannya. Bukankah perbedaan itu disediakan oleh Allah swt sebagai ruang kita untuk berdakwah... sudahkan kita menggunakannya sebaik mungkin? Sudahkan kita memanfaatkannya untuk memperbanyak amal kita?

Marilah kita renungkan bersama. Berbagai kejadian yang terjadi baru-baru ini di Indonesia. Mulai dari munculnya Ahmadiyah, munculnya nabi-nabi palsu, munculnya aliran-aliran sesat, hingga pengrusakan terhadap gereja. Adalah fenomena perbedaan. Janganlah kita memandang semua itu sebagai sebuah masalah, tapi mari kita memandang itu semua sebagai sebuah peluang. Peluang kita untuk berdakwah. Tentunya berdakwah dengan cara-cara yang luwes seperti yang diserukan Allah kepada kita semua dalam surat an-Nahl 125:

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجدلهم بالتى هى أحسن ان ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله  وهو أعلم بالمهتدين

Yang artinya:
 
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allah Tuhan-mu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Mari kita bersama-sama merangkul mereka dan mengajaknya untuk kembali pada Islam yang sempurna, Islam yang Kaffah. Jangan kita lempari batu mereka, tapi mari kita rangkul dan nasehati bahwa Islam itu begini tidak begitu. Kita ajak mereka berdiskusi, kita sapa mereka, kita bujuk mereka untuk bersama-sama masuk ke mushalla dan masjid yang penuh berkah ini.

Kepada umat nasrani, jangan kita bakar gereja mereka tapi, marilah kita rangkul mereka kita ajak mereka menuju masjid yang indah dan penuh berkah seperti masjid ini. Tentunya dengan cara yang baik pula. Jangan sampai dakwah kita mengoyak Bhineka Tunggal Ika yang telah disepakati bersama oleh para kyai, ulama dan umara’. Jangan sampai pula perbedaan yang penuh hikmah itu berubah menjadi musibah bagi bangsa ini. Karena itu sama artinya kita telah tidak amanah menjaga titipan nenek moyang kita yaitu ‘Indonesia’ dan secara otomatis menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Allah swt.

Inilah cita-cita Bhinneka Tunggal Ika, dan juga semangat dasar dari persaudaraan. Pasalnya, pengalaman pahit bangsa kita selama ini yang ditimpa berbagai konflik dan kerusuhan, mengisyaratkan bahwa keragaman bangsa Indonesia, apabila tidak disikapi secara jernih dan bijak, akan menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat.

Untuk itu, kaum muslimin sebagai umat terbanyak di Indonesia, haruslah memberikan teladan dalam mewujudkan persatuan, kesatuan dan kedamaian di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini. Rujukan asasi yang harus dipegangi adalah teladan Nabi Saw. sepanjang hayatnya. Pengalaman Rasulullah saw. menunjukkan betapa bahayanya pencampuradukan antara kepentingan politik dan isu-isu agama. Agama memang bukan faktor pemicu berbagai peselisihan antarumat. Tetapi isu-isu agama sangat sensitif dan mudah tersulut.

Karena itu sejarah pernah mencatat pesan Nabi Muhammad saw kepada para sahabatnya bahwa jika suatu saat nanti umat Islam berhasil mencapai Mesir dalam futuhat kelak, yang harus diperhatikan adalah memperlakukan masyarakat Mesir dengan baik tanpa terkecuali. Sikap simpatik ini disampaikan Nabi Muhammad ketika menerima hadiah persahabatan dari Gubernur Mesir, Muqaiqis, yang notabene seorang non-muslim. Ramalan Nabi terbukti, dan Khalifah Umar ibn al-Khattab berpesan kepada Amr ibn Ash yang berhasil menguasai Mesir agar memperlakukan rakyat Mesir secara manusiawi.

Sekali lagi marilah dalam kesempatan ini kita benar-benar memegangi ajaran dan dan sunnah Rasulullah saw. Semoga Allah swt. senantiasa memberikan kepada kita petunjuk dan hidayahnya dalam menjaga amanah bangsa dan memberikan kemampuan kepada kita untuk mengelola perbedaan menjadi hikmah dan ni’mah. Amin.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Taubat dan Istigfar, kunci pengampunan dan pembuka kunci rezeki

Hakikat Istighfar dan Taubat

Sebagian besar orang menygka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dgn lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan. “Arti : Aku mohon ampun kpd Allah dan bertaubat kpd-Nya”. Tetapi kalimat-kalimat diatas tdk membekas di dalam hati, juga tdk berpengaruh dalam peruntukan anggota badan. Sesungguh istighfar dan taubat jenis ini ialah peruntukan orang-orang dusta. Para ulama -semoga Allah memberi balasan yg sebaik-baik kpd mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan : “Dalam istilah syara’, taubat ialah meninggalkan dosa krn keburukannya, menyesali dosa yg telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tdk mengulangi dan berusaha melakukan apa yg bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubat telah sempurna” [Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata ” tauba” hal. 76]. Imam An-Nawawi dgn redaksional sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukum ialah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dgn Allah, yg tdk ada sangkut paut dgn hak manusia maka syarat ada tiga. Pertama, hendak ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia hrs menyesali peruntukan (maksiat)nya. Ketiga, ia hrs berkeinginan untuk tdk mengulangi lagi. Jika salah satu hilang, maka taubat tdk sah.
Jika taubat itu berkaitan dgn hak manusia maka syarat ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendak ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenis maka ia hrs mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenis maka ia hrs memberi kesempatan untuk membalas atau meminta ma’af kpdnya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia hrs meminta maaf” [Riyadhus Shalihin, hal. 41-42] Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani ialah ” Meminta (ampunan) dgn ucapan dan peruntukan. Dan firman Allah.
“Arti : Mohonlah ampun kpd Tuhanmu, sesungguh Dia Maha Pengampun” [Nuh : 10]
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun ha dgn lisan semata, tetapi dgn lisan dan peruntukan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) ha dgn lisan saja tanpa disertai peruntukan ialah pekerjaan para pendusta” [Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata “ghafara” hal. 362]

Dalil Syar’i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki

Beberapa nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dgn karunia Allah Ta’ala. Dibawah ini beberapa nash dimaksud :
Apa Yang Disebutkan Allah Subhana Wa Ta’ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang Berkata Kepada Kaumnya.
“Arti : Maka aku katakan kpd mereka, ‘Mohonlah ampun kpd Tuhanmu’, sesunguh Dia ialah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kpdmu dgn lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. [Nuh : 10-12]
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendptkan hal-hal berikut ini dgn istighfar.
Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : “Sesungghuh Dia ialah Maha Pengampun”.
Dditurunkan hujan yg lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata “midraaraa” ialah (hujan) yg turun dgn deras. [Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666]
Allah akan membanyakan harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat “wayumdid kum biamwalin wabanina” Atha’ berkata : Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian” [Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154]. Imam Al-Qurthubi berkata : “Dalam ayat ini, juga yg disebutkan dalam (surat Hud : 3 “Arti : Dan hendaklah kamu meminta ampun kpd Tuhamnu dan bertaubat kpd-Nya) ialah dalil yg menunjukkan bahwa istighfar mrpk salah satu sarana meminta diturunkan rizki dan hujan”. [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417]
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsir berkata :” Maknanya, jika kalian bertaubat kpd Allah, meminta ampun kpdNya dan kalian senantiasa menta’atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yg di dalam bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”. [Tafsir Ibnu Katsir, 4/449]
Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu juga berpegang dgn apa yg terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta’ala.
Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya’bi : “Bahwasa Umar Radhiyallahu ‘anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tdk lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kpd Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang berta kpdnya, ‘Aku tdk mendengar Anda memohon hujan’. Maka ia menjawab, ‘Aku memohon diturunkan hujan dgn majadih[1] langit yg dgn diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat. “Arti : Mohonlah ampun kpd Tuhamu, sesungguh Dia ialah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kpdmu dgn lebat”.[Nuh : 10-11]. [Tafsir Al-Khazin, 7/154]
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah oleh Dr. Fadhl Ilahi, dgn edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc]
Majadih bentuk tunggal ialah majdah yakni salah satu jenis bintang yg menurut bangsa Arab mrpk bintang (yg jika muncul) menunjukkan hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan istighfar sama dgn bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa yg mereka ketahui. Dan sebelum mereka memang menganggap bahwa ada bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar berpendpt bahwa turun hujan krn bintang-bintang tersebut. [Tafsir Al-Khazin, 7/154]

tentang pesantren

Pengertian Pondok Pesantren

Pengertian pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe-dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul utk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan pesantren adl suatu lembaga pendidikan islam Indonesia yg bersifat “tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27). Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005: 72). pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yg tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yg memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit krn masih meliputi beberapa unsur utk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel 1). Maka dgn demikian sesuai dgn arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi selama benar.

Tipologi Pondok Pesantren

Seiring dgn laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yg digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dgn pertumbuhan dan perkembangan zaman. Menurut Yacub yg dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasa ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologi yaitu :
  • Pesantren Salafi yaitu pesantren yg tetap mempertahankan pelajaran dgn kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yg lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dgn metode sorogan dan weton.
  • Pesantren Khalafi yaitu pesantren yg menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
  • Pesantren Kilat yaitu pesantren yg berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
  • Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yg lbh menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dgn program yg terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
  • Pesantren yg mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
  • Pesantren yg memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dgn kurikulum yg disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
  • Pesantren yg menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adl contohnya.
  • Pesantren yg merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

Dinamika Pondok Pesantren

Dalam perspektif sejarah lembaga penidikan yg terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yg panjang sejak sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu pesantren sedikit demi sedikit maju tumbuh dan berkembang sejalan dgn proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yg dilakukan pesantren utk mendinamisir diri sejalan dgn tuntutan dan perubahan masyarakatnya. Dinamika lembaga pendidikan Islam yg relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal seperti :
  • Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dgn jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dgn 938.397 santri pada tahun 1981 kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren dgn jumlah santri 59 juta orang pada tahun 1985.
  • Kemampuan pesantren utk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yg sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yg berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yg mempunyai kekuatan utk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir diri ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yg dibutuhkan masyarakat. (Khozin2006:149)
Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan tak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren utk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992) bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktor adl lapangan pekerjaaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yg mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah lbh memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional dgn membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yg tetap berjalan meneruskan segala tradisi yg diwarisi secara turun temurun tanpa perubahan dan inprovisasi yg berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yg mencoba mencari jalan sendiri dgn harapan mendapatkan hasil yg lbh baik dalam waktu yg singkat. Pesantren semacam ini adl pesantren yg menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. Maka dari pada itu apapun motif perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui mempunyai dampak yg besar contoh semakin dituntut dgn ada teknologi yg canggih pesantrenpun tak ketinggalan zaman utk selalu mengimbangi dari tiap persoalan-persoalan yg terkait dgn pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karena pesantren tak akan pernah mengalami statis selama dari tiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik apa yg paling aktual. (Mas’ud dkk 2002:72-73).

Sabtu, 23 Maret 2013

Kisah Nabi Khidir Bagian 3

PRO DAN KONTRA KEBERADAAN NABI KHIDIR

Banyak kisah-kisah tentang Nabi Khidir yang ramai dibicarakan orang, banyak kontroversi tentang kemunculannya, sehingga hal itu mendorong rasa ingin tahu tentang hakikat sebenarnya. Ada yang menyatakan Nabi Khidir masih hidup, adapula yang menyatakan Khidir sekarang berdiam di sebuah pulau, ada pula yang menyatakan bahwa setiap musim haji Nabi Khidir rutin mengunjungi padang Arafah. Entah khidir siapa dan yang mana? Tapi yang jelas begitulah cerita dan dongeng yang berkembang di tengah masyarakat kita. banyak kalangan yang sangat mempercayai perkara-perkara tersebut dan banyak pula kalangan yang menyangkal keberadaan Nabi Khidir saat ini.
Semua ini berpangkal dari kesalahpahaman mereka tentang hakekat Nabi Khidir. Terlebih lagi orang-orang ekstrim dari kalangan pengikut tarekat dan tasawwuf yang membumbui berbagai macam sejarah dan cerita tentang Khidir. Sebagian di antara mereka, ada yang mengaku telah bertemu dengan Khidir, berbicara dengannya dan mendapat wasiat dan ilham darinya. Misalnya di tanah air kita ini, ada sebagian orang yang mengaku telah bertemu dengan Khidir dan mengambil bacaan-bacaan shalawat, wirid-wirid dan dzikir dari Khidir secara langsung, tanpa perantara, atau melalui mimpi. Bahkan ada pula yang mengaku dialah Nabi Khidir -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua ini adalah keyakinan hati saja.
Mengenai hidup atau wafatnya Khidir, orang-orang berselisih. Ada yang menyatakan dia masih hidup. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa dia telah lama meninggal berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan Sunnah. Ini merupakan pendapat para Ahli Hadits. Karena, tidak ada satupun nash yang shahih, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dijadikan pegangan bahwa Khidir masih hidup. Bahkan banyak dalil yang menyatakan ia telah meninggal.

Jika kita mengadakan riset ilmiah, maka kita akan mendapatkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan bahwa Nabi Khidhir telah meninggal dunia.
Al-Allamah Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Khidir sudah tidak ada di dunia adalah empat perkara; Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ (kesepakatan) ulama’ muhaqqiqin, dan dalil aqliy”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 69)]
Di antaranya dalil-dalil itu:

Allah -Ta’ala- berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُو

“Kami tidak menjadikan kehidupan abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal”. (QS.Al-Anbiya`: 34)

Imam Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzy-rahimahullah- berkata, “Khidhir, jika dia itu seorang manusia, maka sungguh ia telah masuk dalam keumuman (ayat) ini tanpa ada keraguan. Seorang tidak boleh mengkhususkannya dari keumuman itu, kecuali dengan dalil yang shahih”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif]

Kemudian Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir-rahimahullah- menguatkan ucapan Ibnul Jauziy tadi seraya berkata, “Asalnya memang tidak boleh mengkhususkannya sampai dalil telah nyata. Sementara tidak disebutkan adanya dalil yang mengkhususkannya dari seorang yang ma’shum yang wajib diterima”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif ]

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab,“Kami mengakui”. Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Al-Imran: 81)

Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah tidak mengutus seorang nabi di antara para nabi, kecuali Dia mengambil perjanjian padanya. Jika Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang nabi itu hidup-, maka ia (nabi itu) betul-betul harus beriman kepada beliau, dan menolongnya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/565)]

Jika Khidir masih hidup, tentunya ia tidak boleh menunda-nunda keimanannya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ia harus mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, berjihad bersamanya dan menyampaikan dakwah beliau. Ini merupakan perjanjian Allah kepada seluruh para nabi dan rasul sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Imran ayat 81 di atas.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa wajib bagi seorang nabi dan rasul untuk menolong dan beriman kepada Rasulullah Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menegaskan bahwa andaikan Nabi Musa -’alaihis salam-, yang jauh lebih mulia dari Nabi Khidir masih hidup, maka ia harus mengikuti Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ

 “Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/387), Ad-Darimiy dalam As-Sunan (1/115), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (5/2), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-Ilm (2/42), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (1589)]

Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun riwayat shahih ataupun hasan -yang dapat menyebutkan bahwa Khidir pernah bertemu dengan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula pernah ikut bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ الْيَوْمَ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ حَيَّةٌ يَوْمَئِذٍ

“Tidak ada satu jiwa pun yang hidup pada hari ini telah lewat 100 tahun, sedang ia hidup pada hari itu”. [HR. Muslim dalam Shahih- nya (4/1966)]

Allamah Ibnu Baththal-rahimahullah- berkata menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memaksudkan bahwa dalam jangka waktu ini suatu generasi telah punah”. [Lihat Fathul Bari (1/256) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar]

Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/41), “Sesungguhnya hadits ini termasuk dalil yang memutuskan tentang kematian Nabi Khidir sekarang”. Andaikan Nabi Khidir masih hidup, tentu ia akan datang kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk menyatakan keislamannya dan akan menolong beliau dalam berdakwah dan berperang membela Islam. Tidak mungkin ada seorang Nabi pun yang masih hidup, lantas tidak datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk berbai’at, menyatakan keislamannya, dan berjihad bersama beliau.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكَ هَذِهِ الْعِصَابَةُ لاَ تُعْبَدْ فِيْ اْلأَرْضِ

“Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad, Bab: Al-Imdad bil Mala’ikah fi Ghazwah Badr (3/1383)]

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harraniy-rahimahullah- berkata ketika ditanya tentang hadits di atas, “Andaikan Khidir masih hidup, maka wajib baginya untuk datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan berjihad di hadapannya, serta belajar dari beliau (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-). Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam perang Badar, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. Pasukan kaum muslimin waktu itu sebanyak 313 personil. Telah dikenal nama mereka, nama orang tua, dan qabilah mereka. Lantas dimanakah Khidir pada saat itu?” [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 68)]

Adapun dalil-dalil berupa hadits-hadits marfu’, dan mauquf yang menyebutkan tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini, maka hadits-hadits itu lemah, bahkan palsu, tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum, apalagi keyakinan (aqidah).

Al-Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbiy -rahimahullah- berkata, “Tidak ada yang menyebarkan berita-berita seperti ini (yakni tentang hidupnya Khidir) di antara manusia, kecuali setan”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/199) dan Ruh Al-Ma’aniy (15/321) karya Al-Alusiy]

Ibnul Munadiy berkata,“Aku telah mengadakan riset tentang hidupnya Khidir, apakah ia masih ada ataukah tidak, maka tiba-tiba kebanyakan orang-orang bodoh tertipu bahwa ia masih hidup karena hadits-hadits (lemah) yang dirwayatkan dalam hal tersebut”. [Lihat Az-Zahr (hal. 38)]

Ibnul Jauziy setelah membawakan beberapa hadits tentang hidupnya Nabi Khidir berkata, “Hadits-hadits ini adalah batil”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/195-197)]

Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya tentang Khidir, dan hidupnya, semuanya adalah dusta (palsu). Tidak shahih satu hadits pun tentang hidupnya Nabi Khidir”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 67)]

Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata setelah membawakan hadits dan kisah tentang hidupnya Khidir, “Riwayat-riwayat, dan hikayat-hikayat ini merupakan sandaran orang yang berpendapat tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini. Semua hadits-hadits yang marfu’ ini adalah dha’if jiddan (lemah sekali), tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334)]

Abul Khaththab Ibnu Dihyah Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata, “Tidak terbukti tentang pertemuan Nabi Khidir bersama dengan seorang nabi, kecuali bersama Musa, sebagaimana Allah -Ta’ala- telah kisahkan tentang berita keduanya. Semua berita tentang hidupnya tak ada yang shahih sedikitpun berdasarkan kesepakatan para penukil hadits (ahli hadits). Hal itu hanyalah disebutkan oleh orang yang meriwayatkan berita tersebut, dan tidak menyebutkan penyakitnya, entah karena ia tidak mengetahuinya, atau karena jelasnya penyakit berita tersebut di sisi para ahli hadits”. [Lihat Az-Zahr An-Nadhir (hal. 32)]

Inilah beberapa dalil, dan komentar para ulama, semuanya menyatakan Nabi Khidir tidak hidup lagi atau sudah meninggal atau sudah gaib. Nyatalah kebatilan orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima ajaran di luar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bagaimana mungkin Khidir mengajarkan suatu ajaran di luar syari’at Nabi Muhammad -Shalallahu ‘alaihi wasallam-??! Itu pasti bukan Nabi Khidir, tapi setan yang ingin menyesatkan manusia.

Hikmah kisah Khidir

Dari kisah Khidir ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Diantaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugrah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang shalih dan terpilih) Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak diluar perintah dari guru. Kisah Nabi Khidir ini juga menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.

Kisah Nabi Khidir bagian 2

Persyaratan belajar

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Khidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” Khidir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”

Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”
Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)

Dia (Khidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)

Perjalanan Khidir dan Musa

Demikianlah seterusnya Musa mengikuti Khidir dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahawa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khidir. Setiap tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa terperanjat.

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khidir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidir.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khidir.

Selanjutnya Nabi Khidir menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khidir menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Didalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri Antakya, Turki.

Akhirnya Nabi Musa as. sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khidir. Akhirya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Khidir yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasihat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa dan Nabi Musa menerima nasihat tersebut dengan penuh rasa gembira.

Saat mereka didalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khidir berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya oleh burung ini.” Sebelum berpisah, Khidir berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”

Kisah Nabi Khidir Bagian 1

Al-Khiḍir adalah seorang nabi misterius yang dituturkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82. Selain kisah tentang nabi Khidir yang mengajarkan tentang ilmu dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa asal usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khidir tidak banyak disebutkan. Al-Khiḍr secara harfiah berarti 'Seseorang yang Hijau' melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.” Dalam literature tasawuf, dikatakan bahwa Khidr memiliki telah diberikan sebuah nama, yang paling terkenal adalah Balyā bin Malkān.


Dalam bukunya yang berjudul “Mystical Dimensions of Islam”, oleh penulis Annemarie Schimmel, Khidr dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Nabi Idris , Nabi Ilyas , dan Nabi Isa. Nabi Khidir hidupnya abadi hingga hari Kiamat, karena ia dianggap telah meminum air kehidupan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Khidr adalah masih sama dengan seseorang yang bernama Elia.Ia juga diidentifikasikan sebagai St. George. Diantara pendapat awal para cendikiawan Barat, Rodwell menyatakan bahwa “Karakter Khidr dibentuk dari Jethro.”

Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang telah disandang oleh Khidr. Beberapa orang mengatakan Khidr adalah gelarnya; yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan. Khidr telah disamakan dengan St. George, dikenal sebagai “Elijah versi Muslim” dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi. Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain

Bahwa Nabi Khidir itu berumur panjang dan masih hidup sampai sekarang masih diyakini sebagian besar kaum muslimin pada umumnya, khususnya umat muslimin Islam tradisional di Indonesia.Kisah-kisah tentang Nabi Khidir ii terus menarik perhatian semua orang karena keunikannya.

Berikut ini di tuturkan kisah asal mula Nabi Khidir bisa berumur panjang, walau semua itu tidak lepas dari kehendak Allah SWt. Kisah ini diriwayatkan ole Ats-tsa labi dari imam Ali, yang bermula dari Raja Iskandar Zulkarnain yang disebut The Great Alexander (Iskandar yang agung). Sebutan The Great Alexander kepada Raja Iskandar Zulkarnain karena beliau adalah seorang kaisar yang mampu menaklukkan dunia barat dan timur.Beliau disegani dan ditakuti orang di seluruh dunia pada zamannya.Walau demikian, posisi ini tidak menjadikan beliau sombong, beliau adalah salah seorang raja yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

Suatu ketika raja Iskandar Zulkarnain pada tahun 322 SM berjalan di atas bumi menuju ke tepi bumi (istilah ke tepi bumi ini disebut orang sebelum Columbus menemukan benua Amerika pada tahun 1492 pada saat itu anggapan orang bumi itu tidak bulat). Allah mewakilkan seorang malaikat yang bernama Rafa’il untuk mendampingi Raja Iskandar Zulkarnain. Di tengah perjalanan mereka berbincang-bincang dan raja Iskandar Zulkarnain berkata kepada malaikat Rafa’il : “wahai malaikat Rafa’il ceritakanlah kepadaku tentang ibadah para malaikat di langit.” Malaikat Rafa’il berkata:”ibadah para malaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya selama-lamanya. Ada yang sujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, dan ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya.” Mendengar keterangan ini Raja termenung. Dalam benaknya timbul keinginan bisa melakukan hal yang sama seperti malaikat. Niatnya hanya satu agar dapat beribadah kepada Allah. Lalu malaikat Rafa’il berkata: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan sumber air di bumi, namanya Ainul hayat yang artinya sumber air hidup, maka barang siapa yang meminumnya seteguk,maka tidak akan mati sampai hari kiamat atau sehingga ia memohon kepada Allah agar supaya dimatikan.”
Kemudian raja bertanya kepada malikat Rafa’il:” apakah kau tahu dimana tempat ainul hayat itu.” Malaikat rafa’il menjawab: “ Bahwa sesungguhnya Ainul hayat itu berada di bumi yang gelap.”Setelah raja mendengar keterangan dari malaikat Rafa’il tentang Ainul hayat, maka raja segera mengumpulkan alim ulama pada zaman itu. Raja bertanya kepada mereka tentang Ainul hayat itu tetapi mereka menjawab: kita tidak tahu kabarnya, namun ada seorang yang alim di antara mereka menjawab :” sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat nabi Adam AS, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap.” Dimanakah tempat bumi yang gelap itu ? Tanya raja. Dan dijawab, yaitu di tempat keluarnya matahari.

Kemudian raja bersiap-siap untuk mendatangi tempat itu, lalu raja bertanya kepada sahabatnya: “ kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap? Dan sahabat menjawab, yaitu kuda betina yang perawan. Kemudian raja mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang masih perawan, lalu raja memilih di antara tentaranya yang sebanyak 6000 orang dipilih yang cendekiawan dan yang ahli mencambuk.

Di antara mereka adalah Nabi Khidir AS berjalan di depan pasukannya. Setelah menempuh perjalanan jauh maka mereka jumpai dalam perjalanan,bahwa tempat keluarnya matahari itu tepat pada arah kiblat. Kemudian mereka tidak berhenti menempuh perjalanan dalam waktu 12 tahun, sehingga sampai di tepi bumi yang gelap itu, ternyata gelapnya itu seperti asap, bukan seperti gelapnya waktu malam.

Kemudian seorang yang sangat cendekiawan mencegah raja masuk ke tempat gelap itu dan tentara-tentaranya berkata kepada raja. “ Wahai raja, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini karena tempat ini gelap dan berbahaya “. Raja berkata : “Kita harus memasukinya, tidak boleh tidak “. Kemudian raja hendak masuk, maka mereka semua membiarkannya siapakah yang berani membantah perintah maharaja yang disegani dunia barat dan dunia timur. Kemudian raja berkata kepada pasukannya : “ Diamlah, kalian di tempat ini selama 12 tahun, jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa 12 tahun itu maka kita pulang bersama, jika aku tidak datang selama 12 tahun maka pulanglah kembali ke negeri kalian.

Kemudian raja berkata kepada Malaikat Rifail : “ Apabila kita melewati tempat yang gelap ini apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita ? “. “ Tidak bisa kelihatan “ , jawab Malaikat Rifail : “ Akan tetapi aku memberimu sebuah mutiara, jika mutiara itu ke atas bumi maka mutiara tersebut dapat menjerit dengan suara yang keras dengan demikian maka teman-teman kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian” . Kemudian Raja Zulkarnain masuk ke tempat tersebut dengan didampingi oleh Nabi Khidir. Disaat mereka jalan Allah memberikan wahyu kepada Nabi khidir As, “ Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat itu Aku khususkan untuk kamu “. Setelah Nabi Khidir menerima wahyu tersebut kemudian beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya : “ Berhentilah kalian di tempat kalian masing-masing dan janganlah kalian meninggalkan tempat kalian sehingga aku datang kepada kalian “.

Lalu beliau berjalan menuju ke sebelah kanan jurang maka didapatilah oleh beliau sebuah Ainul Hayat yang dicarinya itu. Kemudian Nabi Khidir turun dari kudanya dan beliau langsung melepas pakaiannya dan turun dari kudanya dan beliau langsung melepas pakaiannya dan turun ke “ Ainul Hayat “ ( sumber air hidup ) tersebut, dan beliau terus mandi dan minum sumber air hidup tersebut maka dirasakan oleh beliau airnya lebih manis dibanding madu. Setelah beliau mandi dan minum Ainul hayat tersebut terus menemui Raja Iskandar Dzulkarnain sedangkan raja tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Nabi Khidir As yaitu pada saat Nabi Khidir melihat Ainul Hayat dan mandi.

Raja Iskandar Dzulkarnain keliling di dalam tempat yang gelap itu selama 40 hari, tiba-tiba tampak oleh Raja sinar seperti kilat maka terlihat oleh Raja, bumi yang berpasir merah dan terdenganr oleh Raja suara gemericik di bawah kaki kuda. Kenudian Raja berkata kepada Malaikat Rafail “ Suara apakah yang gemerincing di bawah kaki kuda tersebut ? “, Malaikat Rafail menjawab : “ gemericik adalah suara benda apabila seseorang mengambilnya niscaya ia akan menyesal dan apabila tidak mengambilnya niscaya ia akan menyesal juga. Suara gemericik itu membuat orang jadi penasaran namun semua orang ragu-ragu dalam mentukan sikapnya, mengambil benda itu atau tidak ?. Kemudian diantara pasukan ada yang mengambilnya namun hanya sedikit setelah mereka keluar dari tempat yang gelap itu ternyata bahwa benda tersebut adalah permata yakut berwarna merah dan jambrut yang berwarna hijau; maka menyesallah pasukan yang mengambil itu karena mengambilnya hanya sedikit, apalagi para pasukan yang tidak mengambilnya pasti lebih menyesal lagi kenapa mereka begitu bodoh tidak mengambil permata yang mahal harganya itu.

Demikianlah kisah asal mula Nabi Khidir berumur panjang. Bukti bahwa Nabi Khidir berumur panjang adalah dari adanya kisah-kisah yang menyebutkan bahwa beliau sudah ada sejak zaman Nabi Musa As, lalu beliau juga pernah bertemu dengan Rosullullah SAW dan bahkan pernah berguru Ilmu Fiqih kepada Imam Anu Hanifah.

Kisah Musa dan Khiḍr dituturkan oleh Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab menceritakan bahawa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.” Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang shalih itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.

Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun. Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu. Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya' tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya,
Nabi Musa berkata kepada Yusya` “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)

Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63)

Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.

Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)
Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khidir. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.