Rabu, 20 Maret 2013

Sejarah kemerdekaan nasional Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang dipenuhi dengan aksi jihad para syuhada. Umat Islam sudah eksis membangun peradaban  jauh sebelum para penjajah datang ke tanah air. Salah satu fragmen penting dari rangkaian perjalanan panjang tersebut adalah Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy'ari.
Meskipun buku sejarah nasional Indonesia tidak mencantumkan catatan penting mengenai resolusi jihad sebagai konteks peperangan, namun arti pentingnya akhirnya ditandai secara nasional yang senantiasa identik dengan Hari Pahlawan 10 November. Pertempuran dahsyat itu diinspirasi dan digerakkan oleh Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari.

Menurut catatan Direktur Museum NU Achmad Muhibbin Zuhri (2012), terdapat dua naskah Resolusi Jihad. Pertama, naskah "Resolusi Djihad fi Sabilillah, salinannya dikoleksi oleh Museum NU. Naskah tersebut berisi pandangan-pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2: Jawa-Madura) pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Kedua, naskah "Resoloesi Moe'tamar Nahdlatoel Oelama' ke-XVI" di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.

Ada tiga poin penting dalam kedua naskah Resolusi Jihad itu. Pertama, Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu 'ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius masafat al-safar ; Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid, dan ; ketiga, mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Resolusi Jihad ini keluar, "fatwa jihad" yang dikeluarkan sebelumnya oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Fatwa dimaksud disampaikan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada tanggal 14 September 1945. Poin-poin dari fatwa ini sama dengan poin-poin dalam Resolusi Jihad.

Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam Resolusi Jihad tersebut keluar diawali dengan kegalauan Presiden Soekarno demi menghadapi kedatangan enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut. Kedatangan pasukan Sekutu dan Belanda tersebut hendak merongrong kemerdekaan NKRI.

Soekarno sadar, bahwa umat Islam yang menjadi mayoritas dalam tubuh NKRI merupakan kekuatan yang tidak bisa diremehkan, terlebih lagi KH. Hasyim Asy'ari merupakan figur yang sangat disegani oleh para kyai dan santri se-Jawa dan Madura. Beliau juga menjadi komandan spiritual laskar Hizbullah yang dikomandani oleh para kyai dan beranggotakan para santri.
Puluhan ribu kyai dan santri segera menyambut seruan Resolusi Jihad dari KH. Hasyim Asy'ari. Mereka adalah para kiai dan santrinya dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.  Pertempuran 10 November 1945 merupakan momen kekalahan yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh pasukan Sekutu. Pasalnya, pengalaman tempur mereka di Perang Dunia II yang dahsyat dirasa sudah lebih dari cukup untuk bisa memenangkan pertempuran 10 November 1945.

Pertempuran besar tak terhindarkan antara pasukan Sekutu dan laskar NKRI yang terdiri dari kyai dan santri. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayor Jenderal E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel.

Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu enam ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito. Namun mereka berhasil didesak oleh laskar kyai dan santri. Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri.

Keluarnya Resolusi Jihad tidak terlepas dari pandangan KH. Hasyim Asy'ari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan yang berkembang dalam pemikiran politik Ahlussunnah wal jama'ah, yakni pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan bahwa Dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Dan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU memang pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam, meskipun saat itu di bawah pemerintah Hindia Belanda.

Artinya, Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb.

Dengan begini, maka dalam pandangan KH. Hasyim Asy'ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946. KH. Hasyim Asy'ari  menyatakan bahwa tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan. Dengan kata lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah.

Zuhri (2012) menjelaskan, dalam pandangan NU, sejak proklamasi kemerdekaan, Pemerintah RI adalah pemerintah yang sah sesuai hukum Islam, dan oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa negeri Indonesia adalah negeri Islam. Oleh karena itu, usaha kaum penjajah untuk merampas kemerdekaan itu adalah usaha yang harus dilawan atas nama jihad fi sabilillah. *
Oleh: Kartika Pemilia Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar